Rantau 1 Muara Pengembaraan Menuju Jalan Pulang
Judul: Rantau 1
MuaraPengarang: Ahmad Fuadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 407 halaman
Cetakan: Pertama, Mei 2013
ISBN:
978-979-22-9473-6
dakwatuna.com - Sempat meragu
untuk membelinya, tak kurang dari lima kali aku bolak balik ke rak tempat buku
ini bertengger. Rantau 1 Muara, Judul yang sangat menarik bagi jiwa
pengelana tapi kebosananku dengan ‘kisah penjual mimpi’ sedang mencapai titik
puncaknya. Ada sebersit kekhawatiran, jangan-jangan buku ini juga masuk
kategori kisah seperti itu. Kumpulan cerita yang lebih terasa
seperti pamer kesuksesan dan menjual harapan daripada menyajikan sebuah
cerita sarat pesan. Terakhir kutimbang-timbang buku ini sambil pikiranku
menari ke dua buku sebelumnya. Ada rasa penasaran, seperti apa sang penulis
akan menyimpul kisah Alif Fikri. Akhirnya buku ini masuk kantong
belanjaku.
Setelah
membalik halaman per halaman, harus diakui A.Fuadi benar-benar telah matang
dalam dunia kepenulisan. Meski tergolong fiksi, novel ketiga dari trilogi
Negeri 5 Menara ini terasa sangat nyata. Rangkaian cerita yang tertata apik dan
sangat membumi, pilihan bahasa yang ringan tapi sarat makna serta romansa yang
terselip di dalamnya membuat buku ini terasa sangat precious.
Buku ini
berhasil menghanyutkanku dalam aliran kisahnya. Semua kekhawatiranku
termentahkan. Hampir setiap pesan yang ditompangkan dalam buku ini tersaji
dengan menarik. Dan bahkan tanpa terasa digurui kisah Alif Fikri berhasil
membawaku ke jawaban pertanyan yang sering menari dibenakku akhir-akhir ini
tentang pilihan hidup. Dengan mantra man saara ala darbi washala – siapa
yang berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan, kebingungan akan jalan
yang dipilih juga melanda Alif, sang tokoh. “Jalan apa yang aku
tempuh? Jalur mana yang aku ambil? Sampai ke mana tujuan yang ingin aku capai?
Entahlah, semua terasa kabur.” (hal. 29). Bidang keilmuaan yang digeluti
sang tokoh serba tanggung tak pelak menambah kebimbangannya. Alif mulai meraba
perjalanannya, memetakan keinginan, dan menghimpun konsistensi.
Hal lain yang
terasa sangat kental dalam buku ini adalah romansa antara Alif dan Dinara.
Dinara, gadis bermata indah yang telah memikat alif sejak pandangan
pertama. Penulis sangat lihai memainkan perasaan pembaca dalam interaksi antara
kedua tokoh ini hal ini sangat terasa di bab Hubungan Gelap (16) dan Magrib
Terhebat (17). Gaya pendekatan yang mengingatkanku pada karya Hamka. Romansa
sederhana nan manis dan santun. Kemudian kebersamaan mereka yang mengantarkan
untuk melejitkan potensi masing-masing, patner kerja di Derap, sampai menjadi Dynamic
duo di ABN dan serta teman merengkuh dayung menuju muara kehidupan.
Layaknya sebuah
karya, pasti tak semua bisa memenuhi kebutuhan manusia. Termasuk keingintahuan
dan harapan pembaca dari buku ini. Beberapa hal yang terasa agak
menganggu adalah lompatan-lompatan cerita yang terlalu cepat di beberapa
bagian. Seperti tiba-tiba Alif sudah mendapat beasiswa ke Singapura (hal. 10),
kemudian kepulangan Alif ke kampungnya di halaman 173-176 dan beberapa
kejadian lainnya yang terkesan dipersingkat dan seperti ada lompatan dari
narasi sebelumnya. Kekurangan lainnya yang tidak terjawab dalam novel
ini adalah bagaimana dengan nasib beasiswa Dinara ke Inggris? Bagaimana bentuk
interaksi Alif dan Dinara dengan keluarga di Indonesia selama mereka
diperantauan? Bagaimana dengan masalah keturunan setalah 5 tahun hidup bersama
dan mengarungi rumah tangga. Dengan kacamata orang Indonesia yang sangat
mementingkan kekeluargaan tentu mengundang tanya. Mereka terkesan sibuk sendiri
dengan petualangan mereka.
Secara umum
buku ini masuk kategori almost perfect, judul yang menarik, desain
sampul yang eye catching, dan penulis berhasil membawa pembaca ke muara
kisah kehidupan Alif dalam cerita yang manis.
“Hidupku
kini ibarat mengayuh biduk membelah samudera hidup. Selamanya akan naik turun
dilamun gelombang dan ditampar badai. Tapi aku tidak akan merengek pada air,
pada angin, dan pada tanah. Yang membuat aku kukuh adalah aku tahu kemana
tujuan akhirku di ujung cakrawala.” (hal. 395)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar