Rabu, 23 Oktober 2013
Selasa, 08 Oktober 2013
Kata-kata bijak Mario Teguh Tentang Diri
Kata-kata bijak Mario Teguh Tentang Diri
Keindahan manusia yang sesungguhnya bukanlah dari wajah dan
perhiasan yang dikenakannya, akan tetapi dari hatinya
Tuhan, damaikanlah hati ini dengan keyakinan bahwa kesulitanku hanya sementara dan penyelamatanku sudah dekat.
Tuhan, damaikanlah hati ini dengan keyakinan bahwa kesulitanku hanya sementara dan penyelamatanku sudah dekat.
Bekerja yang paling cerdas adalah bekerja keras
Rendahkan hatimu di depan Tuhan dan sesama, Maka Tuhan akan meninggikanmu melebihi dari yang kamu pikirkan dan doakan
Rendahkan hatimu di depan Tuhan dan sesama, Maka Tuhan akan meninggikanmu melebihi dari yang kamu pikirkan dan doakan
Janganlah menghindari kesalahan, hindarkanlah diri dari
melakukan kesalahan yang sama.
Tuhan tidak pernah merencanakan jahat untuk dirimu .
Percayalah semuanya akan indah pada waktunya
Tuhan tidak pernah merencanakan jahat untuk dirimu .
Percayalah semuanya akan indah pada waktunya
Jangan terlalu mengkhawatirkan masa depan, khawatirlah jika hari ini anda tidak berbuat sebaik-baiknya untuk masa depan anda.
Membuat satu jiwa saja tersenyum, adalah ibadah. Marilah kita mempengaruhi kegembiaraan dalam kehidupan sesama
Tujuanmu di dalam pergaulanmu dengan orang lain bukanlah untuk tampil lebih pandai, tapi lebih penyayang
Kemiskinan dan ketertinggalan tidak bisa diperbaiki dengan menyalahkan orang lain
Mengeluh tidak memperbaiki kehidupan. Ia merendahkan dan menekan kita di bawah jika kita jadikan mengeluh sebagai kebiasaan.
Rasa malas it meminderkan dan memiskinkan, jika kita gunakan untuk menghindari pelajaran atau bekerja.
Jika anda bertemu dengan orang yang lebih baik dari anda, arahkan pikiran untuk menjadi serupa dengannya.
Tuhan,dosaku dan khilafku banyak. Tapi aku yakin Engkau akan memaafkanku. maka berikanlah kepadaku kekuatan untuk terjauh dari dosa
Trimakasih Tuhan,engkau telah memberikan kekuatan kepadaku
untuk menahan ucapan yg bisa menyakitkan orang lain
Bebaskan hati dari rasa ingin memiliki, semua hanya titipan. Yang terpenting jadilah orang yang pantas untuk dititipi oleh Tuhan.
Bebaskan hati dari rasa ingin memiliki, semua hanya titipan. Yang terpenting jadilah orang yang pantas untuk dititipi oleh Tuhan.
Jika engkau tegas menghormati dirimu, Tuhan akan memantaskan jodoh yang menghormatimu
Belajarlah melihat sisi baik dari setiap orang, Karen semua orang memiliki peran yang berarti bagi orang lain.
Banyak mengkritik diri sendiri lebih menguntungkan daripada sibuk mengkritik orang lain.
Ketika kita menolong orang lain sebenarnya kita sedang menolong diri kita sendiri
Pria termadesu adalah pria yang berharap keadaan dirinya
dirubah oleh orang lain tanpa lakuin apa-apa
Pertarungan terhebat dan terberat adalah melawan diri sendiri
Pertarungan terhebat dan terberat adalah melawan diri sendiri
Apapun masalah kita, jika kita membaikkan hati, Tuhan akan membaikan hidup kita
Janganlah ingin dicintai dengan lembut, tapi tak mau melembutkan tutur dan tindakan
Tuhan menciptakan satu mulut dan dua telinga, itu artinya kita harus lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.
Anda tidak akan disukai orang lain jika anda membandingkan kelebihan Anda dengan kekurangan mereka
Kata-kata bijak mario teguh bisa anda ikuti dalam tayangan mario teguh golden ways, pantengin terus acaranya semoga bisa memberi informasi yang baik untuk anda.
Nah itulah sebagian kecil dari kata-kata bijak mario teguh khusunya tentang diri
semoga bermanfaat..
Sabtu, 05 Oktober 2013
KUMPULAN HADIST PALSU
inilah beberapa kajian tentang hadits-hadits dhaif dan palsu yang
banyak beredar di masyarakat, dan sering dijadikan pedoman oleh mereka
untuk beramal. Tidak sedikit di antara hadits-hadits tersebut sangat
sering disampaikan dalam ceramah atau buku-buku, dan sayangnya tidak
jelaskan kedudukannya sehingga banyak mengecoh pendengar dan pembacanya.
Semoga kajian ini bermanfaat dan bisa menjadi panduan bagi kita untuk berhati-hati dari hadits-hadits dhaif dan palsu. Cukuplah bagi kita hadits-hadits shahih saja, yang benar-benar nyata sebagai perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
1.
Bekerjalah Kamu untuk Duniamu Seakan Kamu Hidup Selamanya …dst
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا ، و اعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
“Bekerjalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.”
Ungkapan ini sangat terkenal di bibir manusia saat ini dan mereka terkecoh dengan mengatakannya sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Padahal para Imam Ahli Hadits telah menegaskan bahwa ini bukanlah hadits.
Syaikh Al Albani mengatakan: La ashala lahhu marfu’an (tidak ada dasarnya dari Rasulullah). (As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/63. No. 8. Darul Ma’arif)
Namun, ungkapan ini memang ada secara mauquf (sebagai ucapan sahabat), yakni ucapan Abdullah bin Umar bin Al Khathab. (Ibnu Asy Syajari, Al Amali, 1/386. Mawqi’ Al Warraq) ada juga yang menyebut sebagai ucapan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash. (Ibnu Abdi Rabbih, Al ‘Aqdul Farid, 2/469. Mawqi’ Al Warraq)
Ada juga ucapan yang mirip dengan ini juga dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, dengan kalimat sedikit berbeda yakni “ Uhruz lid Duniaka (Jagalah untuk duniamu) …’, bukan “ I’mal lid Duniaka (bekerjalah untuk duniamu) ..”
أحزر لدنياك كأنك تعيش أبدا ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
“Jagalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.” (Lihat Musnad Al Harits, No. 1079. Mawqi’ Jami’ Al Hadits. Lalu Imam Nuruddin Al Haitsami, Bughiyatul Bahits ‘an Zawaid Musnad Al Harits, Hal. 327. Dar Ath Thala’i Lin Nasyr wat Tauzi’ wat Tashdir. Lihat juga, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Mathalib Al ‘Aliyah, No. 3256. Mauqi’ Jami’ Al Hadits.)
Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa ini adalah ucapan dari Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu dan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash juga, dengan ungkapan yang juga agak berbeda yakni “Ihrits lid Duniaka (tanamlah untuk duniamu) ….. dst. (Lihat Imam Ar Raghib Al Ashfahani, Muhadharat Al Adiba’, 1/226. Mawqi’ Al Warraq. Lihat Ibnu Qutaibah, Gharibul Hadits, 1/81, pada Juz 2, Hal.123, beliau menyebutkan bahwa makna Ihrits adalah kumpulkanlah. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Jadi, ada tiga macam redaksi: I’malu (Bekerjalah), Uhruz (jagalah), dan Ihrits (tanamlah). Semua ini tidak satu pun yang merupakan ucapan Rasulullah, melainkan ucapan sahabat saja.
Bahkan ada juga sebagai berikut:
أصلحوا دنياكم ، و اعملوا لآخرتكم ، كأنكم تموتون غدا
“Perbaikilah oleh dunia kalian, dan bekerjalah untuk akhirat kalian, seakan kalian mati besok.” (HR. Al Qudha’i, No. 668. Mawqi’ Jami’ Al Hadits)
Hadits ini tanpa ada bagian, “Seakan kau hidup selamanya.” Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah). Lantaran di dalam sanadnya terdapat Miqdam bin Daud dan Sulaiman bin Arqam. Syaikh Al Albani mengatakan dua orang ini adalah perawi dhaif. (As Silsilah Adh Dha’ifah, 2/266. No. 874. Darul Ma’arif)
Imam Al Haitsami mengatakan bahwa Miqdam bin Daud adalah dhaif. (Majma’ Az Zawaid, 5/120. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Sementara, Al ‘Allamah Muhammad Thahir bin ‘Ali Al Hindi berkata tentang Sulaiman bin Arqam: matruk (haditsnya ditinggalkan). (Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 113. Mawqi’ Ya’sub) Begitu pula Al ‘Allamah Alauddin Al Muttaqi Al Hindi juga menyebutnya matruk. (Kanzul ‘Umal, 7/183. No. 18596. Masasah Ar Risalah)
Sedangkan Al Haitsami mengatakan: dhaif. (Majma’ Az Zawaid, 2/69) dan matruk. (Ibid, 2/112) Imam An Nasa’i dan Imam Ad Daruquthni juga mengatakan matruk. (Al Hazfizh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 1/188. Mawqi’ Al Islam) Sedangkan Az Zaila’i sendiri berkomentar tentang Sulaiman bin Arqam: dhaif menurut para ahli hadits. (Ibid, 1/190. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, 13/380. Al Maktab Al Islami) Al Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan: matruk. (At Talkhish Al Habir, 1/655. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Selain dua orang ini, sanad hadits ini juga terdapat ‘Isa bin Waqid yang tidak diketahui identitasnya. Al Haitsami berkata: “Aku belum mendapatkan siapa saja yang menyebutkan tentang dia.” (Majma’ Az Zawaid, 1/293) Syaikh Al Albani sendiri mengatakan: Aku tidak mengenalnya.(As Silsilah Adh Dha’ifah, 2/266. No. 874)
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini sangat lemah. Wallahu A’lam
Jadi, inti kalimat ini mengajarkan profesionalisme dalam bekerja dan ibadah. Namun demikian, sikap berlebihan dalam kedua hal ini juga bukan sikap yang dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersaba:
ما قل و كفى خير مما كثر و ألهى
“Apa pun yang sedikit tapi mencukupi, adalah lebih baik dibanding yang banyak tetapi melalaikan.” (HR. Ahmad No. 20728. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/82, No. 7. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 2640 dan 3001. Ath Thabari, Tahdzibul Atsar, No. 2496. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 9986. Musnad Asy Syihab Al Qudha’i No. 1165. Musnad Ath Thayalisi, No. 1061. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihan, No. 3620. Katanya: shahih, dan Bukhari-Muslim tidak mengeluarkannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Shahih-nya No. 3329)
2.
Hadits Mengusap Dahi dan Wajah Setelah Shalat
Dalam hal ini ada dua hadits. Hadits pertama, dari Anas bin Malik, katanya:
كان إذا قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى ثم قال : أشهد أن لا إله إلا الله الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الهم و الحزن
“Adalah Rasulullah jika telah selesai shalat, maka dia usapkan wajahnya dengan tangan kanannya, kemudian berkata: “Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan dan kesedihan.” ( HR. Ibnu Sunni ,‘Amalul Yaum wal lailah, No. 110, dan Ibnu Sam’un, Al Amali, 2/176q).
Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan sebagian ulama mengatakan: maudhu’ (palsu).
Imam Ibnu Rajab Al Hambali berkata dalam Fathul Bari-nya:
وله طرق عن أنس ،كلها واهية .
“Hadits ini memiliki banyak jalan dari Anas bin Malik, semuanya lemah.” (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sanad hadits ini adalah dari Salam Al Madaini, dari Zaid Al ‘Ami dari Mu’awiyah, dari Qurrah, dari Anas … (lalu disebutkan hadts di atas)
Cacatnya hadits ini lantaran Salam Al Madaini dan Zaid Al ‘Ami. Salam Al Madaini adalah orang yang dtuduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al ‘Ami adalah perawi dhaif. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan, sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga dhaif. Secara global, hadits ini dhaif jiddan. (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhu’ah, No. 1058. Darul Ma’arif)
Sementara, Imam Al Haitsami mengutip dari Al Bazzar, bahwa Salam Al Madaini adalah layyinul hadits (haditsnya lemah). (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaid, 10/47. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Al Haitsami juga mengatakan bahwa Zaid Al ‘Ami adalah dhaif (lemah). (Ibid,1/230) Imam Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al ‘Ami adalah dhaif. (Al ‘Allamah Ibnu At Turkumani, Al Jauhar, 3/46. Darul Fikr) begitu pula kata Imam Al ‘Iraqi. (Takhrijul Ihya’, 6/290)
Al ‘Allamah As Sakhawi mengatakan, lebih dari satu orang menilai bahwa Zaid Al ‘Ami adalah tsiqah (bisa dipercaya), namun jumhur (mayoritas) menilainya dhaif. (As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 4/486) yang menilainya tsiqah adalah Imam Ahmad. (Ibid, 2/400) Imam Ahmad juga mengatakan: shalih (baik). (Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad dam, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Sementara Imam An Nasa’i mengatakan Zaid Al ‘Ami sebagai laisa bil qawwi (bukan orang kuat hafalannya). (Al Hafizh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 7/185. Lihat Abul Fadhl As Sayyid Al Ma’athi An Nuri, Al Musnad Al Jami’, 14/132) begitu pula kata Imam Abu Zur’ah. (Al Hafiz Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 3/561. Dar Ihya At Turats)
Hadits kedua, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu katanya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قضى صلاته مسح جبهته بكفه اليمنى ، ثم أمرها على وجهه حتى يأتي بها على لحيته ويقول : « بسم الله الذي لا إله إلا هو عالم الغيب والشهادة الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الغم والحزن والهم ، اللهم بحمدك انصرفت وبذنبي اعترفت ، أعوذ بك من شر ما اقترفت ، وأعوذ بك من جهد بلاء الدنيا ومن عذاب الآخرة »
“Adalah Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Sallam jika telah selesai shalatnya, beliau mengusap dahinya dengan tangan kanan, kemudian ilanjutkan ke wajah sampai jenggotnya. Lalu bersabda: “Dengan nama Allah yang Tidak ada Ilah selain Dia, yang Maha Mengetahui yang Ghaib dan Yang Tampak, Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan, kesedihan, dan keresahan. Ya Allah dengan memujiMu aku beranjak dan dengan dosaku aku mengakuinya. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan yang telah aku akui, dan aku berlidung kepadaMu dari beratnya cobaan kehidupan dunia dan siksaan akhirat.” (HR. Abu Nu’aim, Akhbar Ashbahan, No. 40446. Mawqi’ Jami’ Al Hadits)
Hadits ini dhaif (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Daud Al Mihbar pengarang kitab Al ‘Aql.
Imam Al Bukhari berkata tentang dia: munkarul hadits. Imam Ahmad mengatakan: Dia tidak diketahui apa itu hadits. (Imam Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir, No. 837. Mawqi’ Ya’sub. Lihat juga kitab Imam Bukhari lainnya, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 45. Darul Ma’rifah. Lihat juga Al Hafizh Al ‘Uqaili, Dhu’afa, 2/35. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah )
Al Hafizh Az Zarkili mengatakan mayoritas ulama menilainya dhaif. (Khairuddin Az Zarkili, Al A’lam, 2/334. Darul ‘Ilmi wal Malayin)
Ali Maldini mengatakan Daud ini: haditsnya telah hilang. Abu Zur’ah dan lainnya mengatakan: dhaif (lemah). Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan). Abu Hatim mengatakan: haditsnya hilang dan tidak bisa dipercaya. Ad Daruquthni mengatakan bahwa Daud Al Mihbar dalam kitab Al ‘Aql telah memalsukan riwayat Maisarah bin Abdi Rabbih, lalu dia mencuri sanadnya dari Maisarah, dan membuat susunan sanad bukan dengan sanadnya Maisarah. Dia juga pernah mencuri sanad dari Abdul Aziz bin Abi Raja’, dan Sulaiman bin ‘Isa Al Sajazi. (Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 2/20. No. 2646. Darul Ma’rifah) Abu Hatim juga mengatakan: munkarul hadits. (Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 3/424, No. 1931)
Bahkan, Syaikh Al Albani dengan tegas mengatakan sanad hadits ini adalah maudhu’ (palsu) lantaran perilaku Daud yang suka memalsukan sanad ini. Beliau mengatakan Daud adalah orang yang dituduh sebagai pendusta. Sedangkan untuk Al Abbas bin Razin As Sulami, Syaikh Al Albani mengatakan: aku tidak mengenalnya. (Syaikh Al AlBani, As Silsilah Adh Dhaifah wal Maudhu’ah, No. 1059. Darul Ma’arif)
Catatan:
Walaupun hadits-hadits ini sangat lemah dan tidak boleh dijadikan dalil, namun telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang mengusap wajah jika sekadar untuk membersihkan bekas-bekas sujud, seperti pasir, debu, tanah, dan lainnya. Di antara mereka ada yang membolehkan, ada juga yang memakruhkan.
Al Hafizh Al Imam Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan:
فأما مسح الوجه من أثر السجود بعد الصلاة ، فمفهوم ما روي عن ابن مسعودٍ وابن عباسٍ يدل على أنه غير مكروهٍ.
وروى الميموني ، عن أحمد ، أنه كان اذا فرغ من صلاته مسح جبينه .
“Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh. Al Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia mengusap dahinya jika selesai shalat.” (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan dari malaikat. Berikut penjelasan dari Imam Ibnu Rajab:
وكرهه طائفة ؛ لما فيه من إزالة أثر العبادة ، كما كرهوا التنشيف من الوضوء والسواك للصائم .
وقال عبيد بن عميرٍ : لا تزال الملائكة تصلي على إلانسان ما دام أثر السجود في وجهه .
خَّرجه البيهقي بإسنادٍ صحيحٍ .
وحكى القاضي أبو يعلي روايةً عن أحمد ، أنه كان في وجهه شيء من أثر السجود فمسحه رجل ، فغضب ، وقال : قطعت استغفار الملائكة عني . وذكر إسنادها عنه ، وفيه رجل غير مسمىً .
وبوب النسائي ((باب : ترك مسح الجبهة بعد التسليم )) ، ثم خرج حديث أبي سعيد الخدري الذي خَّرجه البخاري هاهنا ، وفي آخره : قال ابو سعيدٍ : مطرنا ليلة أحدى وعشرين ، فوكف المسجد في مصلى النبي – صلى الله عليه وسلم – ، فنظرت إليه وقد انصرف من صلاة الصبح ، ووجهه مبتل طيناً وماءً .
“Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu merupakan penghilangan atas bekas-bekas ibadah, sebagaimana mereka memakruhkan mengelap air wudhu (dibadan) dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata ‘Ubaid bin ‘Amir: “Malaikat senantiasa bershalawat atas manusia selama bekas sujudnya masih ada di wajahnya.” (Riwayat Al Baihaqi dengan sanad shahih)
Al Qadhi Abu Ya’la menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa ada bekas sujud di wajahnya lalu ada seorang laki-laki yang mengusapnya, maka beliau pun marah, dan berkata: “Kau telah memutuskan istighfar-nya malaikat dariku.” Abu Ya’la menyebutkan sanadnya darinya, dan didalamnya terdapat seseorang yang tanpa nama.
Imam An Nasa’i membuat bab: Meninggalkan Mengusap Wajah Setelah Salam. Beliau mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah dikeluarkan pula oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata Abu Said: “Kami kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di masjid mengalir ke tempat shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kami memandang kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan wajahnya terlihat sisa tanah dan air.” (Ibid)
3.
Hadits Keutamaan Memakai Surban
العمامة على القلنسوة فصل ما بيننا وبين المشركين يعطى يوم القيامة بكل كورة يدورها على رأسه نورا (البارودي عن ركانة).
“Surban yang dililitkan ke peci (kopiah) merupakan pemisah antara kita dan kaum musyrikin, pada hari kiamat nanti setiap lilitan surban dikepalanya akan datang dalam bentuk cahaya.” (Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Umal, No. 41134. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah)
Al ‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut:
باطل رواه الباوردي عن ركانة مرفوعا كما في ” الجامع الصغير ” و بيض المناوي له فلم يتكلم عليه بشيء . و قال الشيخ الكتاني في ” الدعامة ” ( ص 7 ) : ” إن سنده واه ” . يعني أنه ضعيف جدا كما في الصفحة ( 34 ) منه . و قد صرح بشدة ضعف هذا الحديث الفقيه أحمد بن حجر الهيتمي في كتابه ” أحكام اللباس ” ( ق 9/2 ) فقال : ” و لولا شدة ضعف هذا الحديث لكان حجة في تكبير العمائم ” . قلت : و الحديث عندي باطل لأن تكثير كورات العمامة خلاف هدي النبي صلى الله عليه وسلم فيها ، بل هو من ثياب الشهرة المنهي عنها في أحاديث خرجت بعضها في آخر كتابي ” حجاب المرأة المسلمة ” .
و الشطر الأول من الحديث رواه الترمذي و ضعفه ، و هو مخرج في ” الإرواء ” (1503 ) .
“Hadits ini batil. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah secara marfu’, sebagaimana tertera dalam Al Jami’ Ash Shaghir. Al Munawi telah memutihkannya (maksudnya membelanya, pen) tetapi tidak berpengaruh sedikit pun. Berkata Syaikh Al Kattani dalam Ad Da’amah (Hal. 7): “Sanadnya dhaif.” Yakni sangat dhaif sebagaimana dijelaskan dalam halaman 34 dari kitabnya. Al Faqih Ahmad bin Hajar Al Hatami telah menguatkan kedhaifan hadits ini dalam kitabnya Ahkam Al Libas (2/9Q), dengan berkata: “Seandainya tidak sangat dhaif, niscaya hadits ini menjadi hujjah penghormatan terhadap surban.”
Aku (Syaikh Al Albani) berkata: “Hadits ini menurutku adakah batil, karena memperbanyak melilitkan surban justru bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan hal itu merupakan pakaian kemasyhuran yang telah dilarang oleh hadits-hadits yang sebagian telah saya keluarkan dalam kitab Hijab Al Mar’ah Al Muslimah.
Bagian awal hadits ini juga dirwayatkan oleh At Tirmidzi dan dhaif, dan itu sudah dicantumkan dalam Al Irwa’ (No. 1503). (As Silsilah Adh Dhaifah, 3/362, No. 1217. Darul Ma’arif)
Dalam hadits lain berbunyi:
من اعتم فله بكل كورة حسنة ، فإذا حط فله بكل حطة حطة خطيئة
“Barangsiapa yang menggunakan surban, maka pada setiap liliannya adalah satu kebaikan, dan jika dilepaskan lilitannya maka setiap satu kali lepasan lilitan menghapuskan satu kesalahan.”
Syaikh Al Albani juga mengatakan bahwa hadits ini maudhu’ , dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami juga menyebtkannya dalam Ahkam Al Libas. (Ibid, No. 718)
Catatan:
Walau hadits ini dhaif, kita mengakui bahwa memakai surban merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Kutubush Shahhah (Kitab hadits-hadits shahih) khususnya dalam bab-bab tentang wudhu. Sehingga, memakai surban telah menjadi identitas yang baku bagi seorang laki-laki muslim dari zaman-zaman. Namun, demikian tak ada satu pun riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan-keutamaannya. Wallahu A’lam wa ilaihil musytaki …
Syaikh Al Albani telah memberi komentar atas hadits ini:
و هذا الحديث و أمثاله من أسباب انتشار البدع في الناس ، لأن أكثرهم حتى من المتفقهة لا تمييز عندهم بين الصحيح و الضعيف من الحديث ، و قد يكون موضوعا ، و لا علم عنده بذلك فيعمل به و تمر الأعوام و هو على ذلك فإذا نبه على ضعفه بادرك بقوله : لا بأس ، يعمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال ! و هو جاهل بأن الحديث موضوع أو شديد الضعف كهذا ، و مثله لا يجوز العمل به اتفاقا ، و إني لأذكر شيخا كان يؤم الناس في بعض مساجد حلب ، على رأسه عمامة ضخمة تكاد لضخامتها تملأ فراغ المحراب الذي كان يصلي فيه! فإلى الله المشتكى مما أصاب المسلمين من الانحراف عن دينهم بسبب الأحاديث الضعيفة و القواعد المزعومة ؟
“Hadits ini dan yang semisalnya merupakan sebab tersebarnya bid’ah dikalangan manusia, lantaran kebanyakan mereka sampai-sampai orang-orang yang sudah faham fiqih pun tidak bisa membedakan antara shahih dan dhaif, dan palsu-nya hadits. Dia tidak mengetahui hal itu, lalu mengamalkannya dan orang banyak melihat dia seperti itu. Jika, dikabarkan kepadanya bahwa hadits tersebut dhaif (lemah), serta merta dia menanggapi dengan ucapan; “Tidak apa-apa mengamalkan hadits dhaif untuk masalah fadhailul amal!” ini adalah kebodohan, karena hadits palsu atau hadits dhaif yang amat sangat, dan hadits yang semisalnya, telah disepakati oleh para ulama tidak boleh diamalkan. Sesungguhnya saya (Syaikh Al Albani) masih ingat tentang seorang syaikh yang mengimami manusia di sebagian masjid di daerah Halab, dia memakai surban yang sangat lebar di kepalanya, saking lebarnya surban itu memenuhi bagian kosong mihrab tempatnya shalat! Maka, hanya kepada Allah tempat mengadu terhadap apa-apa yang menimpa kaum muslimin berupa penyimpangan mereka dari agama mereka, disebabkan oleh hadits-hadits lemah dan kaidah yang maz’um (dikira benar). (Ibid)
4.
Allah Ta’ala Menolak Amal Ibadah Pelaku Bid’ah
Dari Ibnu Abbas Radhilallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
“Allah menolak amalan pelaku bid’ah sampai orang itu meninggalkan perbuatan bid’ahnya.” (HR. Ibnu Majah, No. 50. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 32)
Hadits ini dhaif. Berkata Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahmahullah:
وَفِي الزَّوَائِد رِجَال إِسْنَاد هَذَا الْحَدِيث كُلّهمْ مَجْهُولُونَ قَالَهُ الذَّهَبِيّ
“Dalam Az Zawa’id disebutkan bahwa para periwayat (rijal) hadits ini semuanya majhul (tidak dikenal), itulah yang dikatakan Adz Dzahabi.”(Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiyah ‘Ala Ibni Majah, No. 49. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Sanad hadits ini adalah dari Abdullah bin Sa’id, dari Bisyr bin Manshur, dari Abu Zaid, dari Abu Al Mughirah, dari Ibnu Abbas, lalu disebutkan hadits di atas.
Al Hafizh Al Mizzi mengatakan:
سئل أبو زرعة الرازي عن أبي المغيرة؟ فقال: هو وبشر بن منصور مجهولان، لا أعرفهما
Imam Abu Zur’ah ditanya tentang Abu Al Mughirah, beliau menjawab: “Dia dan Bisyr bin Manshur adalah majhul (tidak dikenal), aku tidak mengenal keduanya.” (Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, No. 6569. Al Maktab Al Islami)
Sedangkan, Syaikh Al Albani menyebutkan bahwa hadits ini munkar. (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 1492. Al Maktab Al Islami)
Ada hadits lain dari Hudzaifah yang berbunyi lebih mendetil:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلَا صَلَاةً وَلَا صَدَقَةً وَلَا حَجًّا وَلَا عُمْرَةً وَلَا جِهَادًا وَلَا صَرْفًا وَلَا عَدْلًا يَخْرُجُ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ الْعَجِينِ
“Allah Tidak menerima amalan pelaku bid’ah, baik puasanya, shadaqah, haji, umrah, jihad, ibadahnya, dan keadilannya. Dia keluar dari Islam seperti tercabutnya rambut dari tepung.” (HR. Ibnu Majah, No. 49)
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini lebih buruk dari sebelumnya, dan dia menyatakan hadits ini palsu (maudhu’). (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 1493)
Hal ini disebabkan karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Mihshan. Imam Al Haitsami mengatakan:
“Dia adalah pendusta dan pemalsu hadits.” (Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, 1/82. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan bahwa Muhammad bin Mihshan ini disebut pendusta oleh Imam Yahya bin Ma’in. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 3/245)
Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Muhammad bin Mihshan adalah seorang syaikh pemalsu hadits yang dia kutip dari orang-orang terpercaya, tidak halal menyebutkan dirinya kecuali di dalamnya mesti ada cacatnya. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/277)
Lebih lengkap lagi dalam Tahdzibut Tahdzib sederetan para Imam Ahli Hadits yang memberikan Jarh (penilaian cacat) untuk Muhammad bin Mihshan ini, seperti Bukhari, Yahya bin Ma’in, Ahmad, Ad Daruquthni, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al ‘Uqaili, semuanya menilai dengan sebutan yang berbeda-beda seperti: pemalsu hadits, pendusta, munkarul hadits, matruk (haditsnya ditinggal), dan majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 9/381.Darul Fikr)
Catatan:
Para pelaku bid’ah, amalan bid’ah yang dilakukannya adalah tertolak, bahkan dia telah melakukan kesesatan yang berdosa, sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits shahih. Namun demikian jika dia melakukan amal shalih yang sesuai sunah di lain waktu, maka hal itu tetap diterima dan berpahala. Hal ini sesuai dengan ayat:
“ Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az Zalzalah (99): 7-8)
Di sisi lain, orang yang melakukan bid’ah, lalu bertobat dari bid’ahnya itu, tetapi sayangnya dia masih melaksanakan bid’ahnya itu maka tobatnya sia-sia. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن الله حجب التوبة عن صاحب كل بدعة
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari pelaku seiap bid’ah.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4353. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 9137. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 30. Al Haitsami mengatakan perawi hadits ini adalah perawi hadits shahih, kecuali Harun bin Musa Al Farawi, dia tsiqah (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 10/189. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Zhilalul Jannah, No. 37. Al Maktab Al Islami)
Al Imam An Nawawi juga menegaskan tentang perkataan para ulama dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhush Shalihin, tentang syarat-syarat diterimanya taubat, diantaranya adalah harus meninggalkan perbuatan dosa tersebut. Berikut keterangan Imam An Nawawi Rahimahullah:
قال العلماء: التوبة واجبةٌ من كل ذنبٍ، فإن كانت المعصية بين العبد وبين الله تعالى لا تتعلق بحق آدميٍ؛ فلها ثلاثة شروطٍ: أحدها: أن يقلع عن المعصية.
والثاني: أن يندم على فعلها.
والثالث: أن يعزم أن لا يعود إليها أبداً. فإن فقد أحد الثلاثة لم تصح توبته. وإن كانت المعصية تتعلق بآدميٍ فشروطها أربعةٌ: هذه الثلاثة، وأن يبرأ من حق صاحبها؛ فإن كانت مالاً أو نحوه رده إليه، وإن كانت حد قذفٍ ونحوه مكنه منه أو طلب عفوه، وإن كانت غيبةً استحله منها.
“Berkata para ulama: “Tobat adalah wajib dari semua dosa, jika maksiatnya adalah antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala, yang tidak terkait dengan manusia, maka syarat tobatnya ada tiga:
1.
Meninggalkan maksiat tersebut
2.
Membenci/menyesali perbuatan tersebut
3.
Berjanji tidak mengulanginya selamanya.
Jika salah satu saja tidak ada, maka tobatnya tidak sah. Dan, jika maksiatnya adalah terkait dengan manusia, maka syaratnya ada empat; yaitu yang tiga di atas, dan yang keempat adalah: menyelesaikan urusannya kepada orang yang berhak. Jika kesalahannya dalam bentuk harta maka dia harus mengembalikannya. Jika dia melemparkan tuduhan, maka dia meminta maaf kepada yang dituduh. Jika dia melakukan ghibah, maka dia meminta untuk dihalalkan (dimaafkan). (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 3-4. Mawqi’ Al Warraq)
Semoga kajian ini bermanfaat dan bisa menjadi panduan bagi kita untuk berhati-hati dari hadits-hadits dhaif dan palsu. Cukuplah bagi kita hadits-hadits shahih saja, yang benar-benar nyata sebagai perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
1.
Bekerjalah Kamu untuk Duniamu Seakan Kamu Hidup Selamanya …dst
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا ، و اعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
“Bekerjalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.”
Ungkapan ini sangat terkenal di bibir manusia saat ini dan mereka terkecoh dengan mengatakannya sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Padahal para Imam Ahli Hadits telah menegaskan bahwa ini bukanlah hadits.
Syaikh Al Albani mengatakan: La ashala lahhu marfu’an (tidak ada dasarnya dari Rasulullah). (As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/63. No. 8. Darul Ma’arif)
Namun, ungkapan ini memang ada secara mauquf (sebagai ucapan sahabat), yakni ucapan Abdullah bin Umar bin Al Khathab. (Ibnu Asy Syajari, Al Amali, 1/386. Mawqi’ Al Warraq) ada juga yang menyebut sebagai ucapan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash. (Ibnu Abdi Rabbih, Al ‘Aqdul Farid, 2/469. Mawqi’ Al Warraq)
Ada juga ucapan yang mirip dengan ini juga dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, dengan kalimat sedikit berbeda yakni “ Uhruz lid Duniaka (Jagalah untuk duniamu) …’, bukan “ I’mal lid Duniaka (bekerjalah untuk duniamu) ..”
أحزر لدنياك كأنك تعيش أبدا ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
“Jagalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.” (Lihat Musnad Al Harits, No. 1079. Mawqi’ Jami’ Al Hadits. Lalu Imam Nuruddin Al Haitsami, Bughiyatul Bahits ‘an Zawaid Musnad Al Harits, Hal. 327. Dar Ath Thala’i Lin Nasyr wat Tauzi’ wat Tashdir. Lihat juga, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Mathalib Al ‘Aliyah, No. 3256. Mauqi’ Jami’ Al Hadits.)
Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa ini adalah ucapan dari Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu dan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash juga, dengan ungkapan yang juga agak berbeda yakni “Ihrits lid Duniaka (tanamlah untuk duniamu) ….. dst. (Lihat Imam Ar Raghib Al Ashfahani, Muhadharat Al Adiba’, 1/226. Mawqi’ Al Warraq. Lihat Ibnu Qutaibah, Gharibul Hadits, 1/81, pada Juz 2, Hal.123, beliau menyebutkan bahwa makna Ihrits adalah kumpulkanlah. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Jadi, ada tiga macam redaksi: I’malu (Bekerjalah), Uhruz (jagalah), dan Ihrits (tanamlah). Semua ini tidak satu pun yang merupakan ucapan Rasulullah, melainkan ucapan sahabat saja.
Bahkan ada juga sebagai berikut:
أصلحوا دنياكم ، و اعملوا لآخرتكم ، كأنكم تموتون غدا
“Perbaikilah oleh dunia kalian, dan bekerjalah untuk akhirat kalian, seakan kalian mati besok.” (HR. Al Qudha’i, No. 668. Mawqi’ Jami’ Al Hadits)
Hadits ini tanpa ada bagian, “Seakan kau hidup selamanya.” Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah). Lantaran di dalam sanadnya terdapat Miqdam bin Daud dan Sulaiman bin Arqam. Syaikh Al Albani mengatakan dua orang ini adalah perawi dhaif. (As Silsilah Adh Dha’ifah, 2/266. No. 874. Darul Ma’arif)
Imam Al Haitsami mengatakan bahwa Miqdam bin Daud adalah dhaif. (Majma’ Az Zawaid, 5/120. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Sementara, Al ‘Allamah Muhammad Thahir bin ‘Ali Al Hindi berkata tentang Sulaiman bin Arqam: matruk (haditsnya ditinggalkan). (Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 113. Mawqi’ Ya’sub) Begitu pula Al ‘Allamah Alauddin Al Muttaqi Al Hindi juga menyebutnya matruk. (Kanzul ‘Umal, 7/183. No. 18596. Masasah Ar Risalah)
Sedangkan Al Haitsami mengatakan: dhaif. (Majma’ Az Zawaid, 2/69) dan matruk. (Ibid, 2/112) Imam An Nasa’i dan Imam Ad Daruquthni juga mengatakan matruk. (Al Hazfizh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 1/188. Mawqi’ Al Islam) Sedangkan Az Zaila’i sendiri berkomentar tentang Sulaiman bin Arqam: dhaif menurut para ahli hadits. (Ibid, 1/190. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, 13/380. Al Maktab Al Islami) Al Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan: matruk. (At Talkhish Al Habir, 1/655. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Selain dua orang ini, sanad hadits ini juga terdapat ‘Isa bin Waqid yang tidak diketahui identitasnya. Al Haitsami berkata: “Aku belum mendapatkan siapa saja yang menyebutkan tentang dia.” (Majma’ Az Zawaid, 1/293) Syaikh Al Albani sendiri mengatakan: Aku tidak mengenalnya.(As Silsilah Adh Dha’ifah, 2/266. No. 874)
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini sangat lemah. Wallahu A’lam
Jadi, inti kalimat ini mengajarkan profesionalisme dalam bekerja dan ibadah. Namun demikian, sikap berlebihan dalam kedua hal ini juga bukan sikap yang dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersaba:
ما قل و كفى خير مما كثر و ألهى
“Apa pun yang sedikit tapi mencukupi, adalah lebih baik dibanding yang banyak tetapi melalaikan.” (HR. Ahmad No. 20728. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/82, No. 7. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 2640 dan 3001. Ath Thabari, Tahdzibul Atsar, No. 2496. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 9986. Musnad Asy Syihab Al Qudha’i No. 1165. Musnad Ath Thayalisi, No. 1061. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihan, No. 3620. Katanya: shahih, dan Bukhari-Muslim tidak mengeluarkannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Shahih-nya No. 3329)
2.
Hadits Mengusap Dahi dan Wajah Setelah Shalat
Dalam hal ini ada dua hadits. Hadits pertama, dari Anas bin Malik, katanya:
كان إذا قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى ثم قال : أشهد أن لا إله إلا الله الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الهم و الحزن
“Adalah Rasulullah jika telah selesai shalat, maka dia usapkan wajahnya dengan tangan kanannya, kemudian berkata: “Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan dan kesedihan.” ( HR. Ibnu Sunni ,‘Amalul Yaum wal lailah, No. 110, dan Ibnu Sam’un, Al Amali, 2/176q).
Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan sebagian ulama mengatakan: maudhu’ (palsu).
Imam Ibnu Rajab Al Hambali berkata dalam Fathul Bari-nya:
وله طرق عن أنس ،كلها واهية .
“Hadits ini memiliki banyak jalan dari Anas bin Malik, semuanya lemah.” (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sanad hadits ini adalah dari Salam Al Madaini, dari Zaid Al ‘Ami dari Mu’awiyah, dari Qurrah, dari Anas … (lalu disebutkan hadts di atas)
Cacatnya hadits ini lantaran Salam Al Madaini dan Zaid Al ‘Ami. Salam Al Madaini adalah orang yang dtuduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al ‘Ami adalah perawi dhaif. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan, sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga dhaif. Secara global, hadits ini dhaif jiddan. (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhu’ah, No. 1058. Darul Ma’arif)
Sementara, Imam Al Haitsami mengutip dari Al Bazzar, bahwa Salam Al Madaini adalah layyinul hadits (haditsnya lemah). (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaid, 10/47. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Al Haitsami juga mengatakan bahwa Zaid Al ‘Ami adalah dhaif (lemah). (Ibid,1/230) Imam Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al ‘Ami adalah dhaif. (Al ‘Allamah Ibnu At Turkumani, Al Jauhar, 3/46. Darul Fikr) begitu pula kata Imam Al ‘Iraqi. (Takhrijul Ihya’, 6/290)
Al ‘Allamah As Sakhawi mengatakan, lebih dari satu orang menilai bahwa Zaid Al ‘Ami adalah tsiqah (bisa dipercaya), namun jumhur (mayoritas) menilainya dhaif. (As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 4/486) yang menilainya tsiqah adalah Imam Ahmad. (Ibid, 2/400) Imam Ahmad juga mengatakan: shalih (baik). (Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad dam, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Sementara Imam An Nasa’i mengatakan Zaid Al ‘Ami sebagai laisa bil qawwi (bukan orang kuat hafalannya). (Al Hafizh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 7/185. Lihat Abul Fadhl As Sayyid Al Ma’athi An Nuri, Al Musnad Al Jami’, 14/132) begitu pula kata Imam Abu Zur’ah. (Al Hafiz Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 3/561. Dar Ihya At Turats)
Hadits kedua, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu katanya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قضى صلاته مسح جبهته بكفه اليمنى ، ثم أمرها على وجهه حتى يأتي بها على لحيته ويقول : « بسم الله الذي لا إله إلا هو عالم الغيب والشهادة الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الغم والحزن والهم ، اللهم بحمدك انصرفت وبذنبي اعترفت ، أعوذ بك من شر ما اقترفت ، وأعوذ بك من جهد بلاء الدنيا ومن عذاب الآخرة »
“Adalah Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Sallam jika telah selesai shalatnya, beliau mengusap dahinya dengan tangan kanan, kemudian ilanjutkan ke wajah sampai jenggotnya. Lalu bersabda: “Dengan nama Allah yang Tidak ada Ilah selain Dia, yang Maha Mengetahui yang Ghaib dan Yang Tampak, Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan, kesedihan, dan keresahan. Ya Allah dengan memujiMu aku beranjak dan dengan dosaku aku mengakuinya. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan yang telah aku akui, dan aku berlidung kepadaMu dari beratnya cobaan kehidupan dunia dan siksaan akhirat.” (HR. Abu Nu’aim, Akhbar Ashbahan, No. 40446. Mawqi’ Jami’ Al Hadits)
Hadits ini dhaif (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Daud Al Mihbar pengarang kitab Al ‘Aql.
Imam Al Bukhari berkata tentang dia: munkarul hadits. Imam Ahmad mengatakan: Dia tidak diketahui apa itu hadits. (Imam Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir, No. 837. Mawqi’ Ya’sub. Lihat juga kitab Imam Bukhari lainnya, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 45. Darul Ma’rifah. Lihat juga Al Hafizh Al ‘Uqaili, Dhu’afa, 2/35. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah )
Al Hafizh Az Zarkili mengatakan mayoritas ulama menilainya dhaif. (Khairuddin Az Zarkili, Al A’lam, 2/334. Darul ‘Ilmi wal Malayin)
Ali Maldini mengatakan Daud ini: haditsnya telah hilang. Abu Zur’ah dan lainnya mengatakan: dhaif (lemah). Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan). Abu Hatim mengatakan: haditsnya hilang dan tidak bisa dipercaya. Ad Daruquthni mengatakan bahwa Daud Al Mihbar dalam kitab Al ‘Aql telah memalsukan riwayat Maisarah bin Abdi Rabbih, lalu dia mencuri sanadnya dari Maisarah, dan membuat susunan sanad bukan dengan sanadnya Maisarah. Dia juga pernah mencuri sanad dari Abdul Aziz bin Abi Raja’, dan Sulaiman bin ‘Isa Al Sajazi. (Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 2/20. No. 2646. Darul Ma’rifah) Abu Hatim juga mengatakan: munkarul hadits. (Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 3/424, No. 1931)
Bahkan, Syaikh Al Albani dengan tegas mengatakan sanad hadits ini adalah maudhu’ (palsu) lantaran perilaku Daud yang suka memalsukan sanad ini. Beliau mengatakan Daud adalah orang yang dituduh sebagai pendusta. Sedangkan untuk Al Abbas bin Razin As Sulami, Syaikh Al Albani mengatakan: aku tidak mengenalnya. (Syaikh Al AlBani, As Silsilah Adh Dhaifah wal Maudhu’ah, No. 1059. Darul Ma’arif)
Catatan:
Walaupun hadits-hadits ini sangat lemah dan tidak boleh dijadikan dalil, namun telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang mengusap wajah jika sekadar untuk membersihkan bekas-bekas sujud, seperti pasir, debu, tanah, dan lainnya. Di antara mereka ada yang membolehkan, ada juga yang memakruhkan.
Al Hafizh Al Imam Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan:
فأما مسح الوجه من أثر السجود بعد الصلاة ، فمفهوم ما روي عن ابن مسعودٍ وابن عباسٍ يدل على أنه غير مكروهٍ.
وروى الميموني ، عن أحمد ، أنه كان اذا فرغ من صلاته مسح جبينه .
“Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh. Al Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia mengusap dahinya jika selesai shalat.” (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan dari malaikat. Berikut penjelasan dari Imam Ibnu Rajab:
وكرهه طائفة ؛ لما فيه من إزالة أثر العبادة ، كما كرهوا التنشيف من الوضوء والسواك للصائم .
وقال عبيد بن عميرٍ : لا تزال الملائكة تصلي على إلانسان ما دام أثر السجود في وجهه .
خَّرجه البيهقي بإسنادٍ صحيحٍ .
وحكى القاضي أبو يعلي روايةً عن أحمد ، أنه كان في وجهه شيء من أثر السجود فمسحه رجل ، فغضب ، وقال : قطعت استغفار الملائكة عني . وذكر إسنادها عنه ، وفيه رجل غير مسمىً .
وبوب النسائي ((باب : ترك مسح الجبهة بعد التسليم )) ، ثم خرج حديث أبي سعيد الخدري الذي خَّرجه البخاري هاهنا ، وفي آخره : قال ابو سعيدٍ : مطرنا ليلة أحدى وعشرين ، فوكف المسجد في مصلى النبي – صلى الله عليه وسلم – ، فنظرت إليه وقد انصرف من صلاة الصبح ، ووجهه مبتل طيناً وماءً .
“Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu merupakan penghilangan atas bekas-bekas ibadah, sebagaimana mereka memakruhkan mengelap air wudhu (dibadan) dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata ‘Ubaid bin ‘Amir: “Malaikat senantiasa bershalawat atas manusia selama bekas sujudnya masih ada di wajahnya.” (Riwayat Al Baihaqi dengan sanad shahih)
Al Qadhi Abu Ya’la menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa ada bekas sujud di wajahnya lalu ada seorang laki-laki yang mengusapnya, maka beliau pun marah, dan berkata: “Kau telah memutuskan istighfar-nya malaikat dariku.” Abu Ya’la menyebutkan sanadnya darinya, dan didalamnya terdapat seseorang yang tanpa nama.
Imam An Nasa’i membuat bab: Meninggalkan Mengusap Wajah Setelah Salam. Beliau mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah dikeluarkan pula oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata Abu Said: “Kami kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di masjid mengalir ke tempat shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kami memandang kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan wajahnya terlihat sisa tanah dan air.” (Ibid)
3.
Hadits Keutamaan Memakai Surban
العمامة على القلنسوة فصل ما بيننا وبين المشركين يعطى يوم القيامة بكل كورة يدورها على رأسه نورا (البارودي عن ركانة).
“Surban yang dililitkan ke peci (kopiah) merupakan pemisah antara kita dan kaum musyrikin, pada hari kiamat nanti setiap lilitan surban dikepalanya akan datang dalam bentuk cahaya.” (Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Umal, No. 41134. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah)
Al ‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut:
باطل رواه الباوردي عن ركانة مرفوعا كما في ” الجامع الصغير ” و بيض المناوي له فلم يتكلم عليه بشيء . و قال الشيخ الكتاني في ” الدعامة ” ( ص 7 ) : ” إن سنده واه ” . يعني أنه ضعيف جدا كما في الصفحة ( 34 ) منه . و قد صرح بشدة ضعف هذا الحديث الفقيه أحمد بن حجر الهيتمي في كتابه ” أحكام اللباس ” ( ق 9/2 ) فقال : ” و لولا شدة ضعف هذا الحديث لكان حجة في تكبير العمائم ” . قلت : و الحديث عندي باطل لأن تكثير كورات العمامة خلاف هدي النبي صلى الله عليه وسلم فيها ، بل هو من ثياب الشهرة المنهي عنها في أحاديث خرجت بعضها في آخر كتابي ” حجاب المرأة المسلمة ” .
و الشطر الأول من الحديث رواه الترمذي و ضعفه ، و هو مخرج في ” الإرواء ” (1503 ) .
“Hadits ini batil. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah secara marfu’, sebagaimana tertera dalam Al Jami’ Ash Shaghir. Al Munawi telah memutihkannya (maksudnya membelanya, pen) tetapi tidak berpengaruh sedikit pun. Berkata Syaikh Al Kattani dalam Ad Da’amah (Hal. 7): “Sanadnya dhaif.” Yakni sangat dhaif sebagaimana dijelaskan dalam halaman 34 dari kitabnya. Al Faqih Ahmad bin Hajar Al Hatami telah menguatkan kedhaifan hadits ini dalam kitabnya Ahkam Al Libas (2/9Q), dengan berkata: “Seandainya tidak sangat dhaif, niscaya hadits ini menjadi hujjah penghormatan terhadap surban.”
Aku (Syaikh Al Albani) berkata: “Hadits ini menurutku adakah batil, karena memperbanyak melilitkan surban justru bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan hal itu merupakan pakaian kemasyhuran yang telah dilarang oleh hadits-hadits yang sebagian telah saya keluarkan dalam kitab Hijab Al Mar’ah Al Muslimah.
Bagian awal hadits ini juga dirwayatkan oleh At Tirmidzi dan dhaif, dan itu sudah dicantumkan dalam Al Irwa’ (No. 1503). (As Silsilah Adh Dhaifah, 3/362, No. 1217. Darul Ma’arif)
Dalam hadits lain berbunyi:
من اعتم فله بكل كورة حسنة ، فإذا حط فله بكل حطة حطة خطيئة
“Barangsiapa yang menggunakan surban, maka pada setiap liliannya adalah satu kebaikan, dan jika dilepaskan lilitannya maka setiap satu kali lepasan lilitan menghapuskan satu kesalahan.”
Syaikh Al Albani juga mengatakan bahwa hadits ini maudhu’ , dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami juga menyebtkannya dalam Ahkam Al Libas. (Ibid, No. 718)
Catatan:
Walau hadits ini dhaif, kita mengakui bahwa memakai surban merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Kutubush Shahhah (Kitab hadits-hadits shahih) khususnya dalam bab-bab tentang wudhu. Sehingga, memakai surban telah menjadi identitas yang baku bagi seorang laki-laki muslim dari zaman-zaman. Namun, demikian tak ada satu pun riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan-keutamaannya. Wallahu A’lam wa ilaihil musytaki …
Syaikh Al Albani telah memberi komentar atas hadits ini:
و هذا الحديث و أمثاله من أسباب انتشار البدع في الناس ، لأن أكثرهم حتى من المتفقهة لا تمييز عندهم بين الصحيح و الضعيف من الحديث ، و قد يكون موضوعا ، و لا علم عنده بذلك فيعمل به و تمر الأعوام و هو على ذلك فإذا نبه على ضعفه بادرك بقوله : لا بأس ، يعمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال ! و هو جاهل بأن الحديث موضوع أو شديد الضعف كهذا ، و مثله لا يجوز العمل به اتفاقا ، و إني لأذكر شيخا كان يؤم الناس في بعض مساجد حلب ، على رأسه عمامة ضخمة تكاد لضخامتها تملأ فراغ المحراب الذي كان يصلي فيه! فإلى الله المشتكى مما أصاب المسلمين من الانحراف عن دينهم بسبب الأحاديث الضعيفة و القواعد المزعومة ؟
“Hadits ini dan yang semisalnya merupakan sebab tersebarnya bid’ah dikalangan manusia, lantaran kebanyakan mereka sampai-sampai orang-orang yang sudah faham fiqih pun tidak bisa membedakan antara shahih dan dhaif, dan palsu-nya hadits. Dia tidak mengetahui hal itu, lalu mengamalkannya dan orang banyak melihat dia seperti itu. Jika, dikabarkan kepadanya bahwa hadits tersebut dhaif (lemah), serta merta dia menanggapi dengan ucapan; “Tidak apa-apa mengamalkan hadits dhaif untuk masalah fadhailul amal!” ini adalah kebodohan, karena hadits palsu atau hadits dhaif yang amat sangat, dan hadits yang semisalnya, telah disepakati oleh para ulama tidak boleh diamalkan. Sesungguhnya saya (Syaikh Al Albani) masih ingat tentang seorang syaikh yang mengimami manusia di sebagian masjid di daerah Halab, dia memakai surban yang sangat lebar di kepalanya, saking lebarnya surban itu memenuhi bagian kosong mihrab tempatnya shalat! Maka, hanya kepada Allah tempat mengadu terhadap apa-apa yang menimpa kaum muslimin berupa penyimpangan mereka dari agama mereka, disebabkan oleh hadits-hadits lemah dan kaidah yang maz’um (dikira benar). (Ibid)
4.
Allah Ta’ala Menolak Amal Ibadah Pelaku Bid’ah
Dari Ibnu Abbas Radhilallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
“Allah menolak amalan pelaku bid’ah sampai orang itu meninggalkan perbuatan bid’ahnya.” (HR. Ibnu Majah, No. 50. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 32)
Hadits ini dhaif. Berkata Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahmahullah:
وَفِي الزَّوَائِد رِجَال إِسْنَاد هَذَا الْحَدِيث كُلّهمْ مَجْهُولُونَ قَالَهُ الذَّهَبِيّ
“Dalam Az Zawa’id disebutkan bahwa para periwayat (rijal) hadits ini semuanya majhul (tidak dikenal), itulah yang dikatakan Adz Dzahabi.”(Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiyah ‘Ala Ibni Majah, No. 49. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Sanad hadits ini adalah dari Abdullah bin Sa’id, dari Bisyr bin Manshur, dari Abu Zaid, dari Abu Al Mughirah, dari Ibnu Abbas, lalu disebutkan hadits di atas.
Al Hafizh Al Mizzi mengatakan:
سئل أبو زرعة الرازي عن أبي المغيرة؟ فقال: هو وبشر بن منصور مجهولان، لا أعرفهما
Imam Abu Zur’ah ditanya tentang Abu Al Mughirah, beliau menjawab: “Dia dan Bisyr bin Manshur adalah majhul (tidak dikenal), aku tidak mengenal keduanya.” (Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, No. 6569. Al Maktab Al Islami)
Sedangkan, Syaikh Al Albani menyebutkan bahwa hadits ini munkar. (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 1492. Al Maktab Al Islami)
Ada hadits lain dari Hudzaifah yang berbunyi lebih mendetil:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلَا صَلَاةً وَلَا صَدَقَةً وَلَا حَجًّا وَلَا عُمْرَةً وَلَا جِهَادًا وَلَا صَرْفًا وَلَا عَدْلًا يَخْرُجُ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ الْعَجِينِ
“Allah Tidak menerima amalan pelaku bid’ah, baik puasanya, shadaqah, haji, umrah, jihad, ibadahnya, dan keadilannya. Dia keluar dari Islam seperti tercabutnya rambut dari tepung.” (HR. Ibnu Majah, No. 49)
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini lebih buruk dari sebelumnya, dan dia menyatakan hadits ini palsu (maudhu’). (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 1493)
Hal ini disebabkan karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Mihshan. Imam Al Haitsami mengatakan:
“Dia adalah pendusta dan pemalsu hadits.” (Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, 1/82. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan bahwa Muhammad bin Mihshan ini disebut pendusta oleh Imam Yahya bin Ma’in. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 3/245)
Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Muhammad bin Mihshan adalah seorang syaikh pemalsu hadits yang dia kutip dari orang-orang terpercaya, tidak halal menyebutkan dirinya kecuali di dalamnya mesti ada cacatnya. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/277)
Lebih lengkap lagi dalam Tahdzibut Tahdzib sederetan para Imam Ahli Hadits yang memberikan Jarh (penilaian cacat) untuk Muhammad bin Mihshan ini, seperti Bukhari, Yahya bin Ma’in, Ahmad, Ad Daruquthni, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al ‘Uqaili, semuanya menilai dengan sebutan yang berbeda-beda seperti: pemalsu hadits, pendusta, munkarul hadits, matruk (haditsnya ditinggal), dan majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 9/381.Darul Fikr)
Catatan:
Para pelaku bid’ah, amalan bid’ah yang dilakukannya adalah tertolak, bahkan dia telah melakukan kesesatan yang berdosa, sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits shahih. Namun demikian jika dia melakukan amal shalih yang sesuai sunah di lain waktu, maka hal itu tetap diterima dan berpahala. Hal ini sesuai dengan ayat:
“ Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az Zalzalah (99): 7-8)
Di sisi lain, orang yang melakukan bid’ah, lalu bertobat dari bid’ahnya itu, tetapi sayangnya dia masih melaksanakan bid’ahnya itu maka tobatnya sia-sia. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن الله حجب التوبة عن صاحب كل بدعة
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari pelaku seiap bid’ah.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4353. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 9137. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 30. Al Haitsami mengatakan perawi hadits ini adalah perawi hadits shahih, kecuali Harun bin Musa Al Farawi, dia tsiqah (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 10/189. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Zhilalul Jannah, No. 37. Al Maktab Al Islami)
Al Imam An Nawawi juga menegaskan tentang perkataan para ulama dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhush Shalihin, tentang syarat-syarat diterimanya taubat, diantaranya adalah harus meninggalkan perbuatan dosa tersebut. Berikut keterangan Imam An Nawawi Rahimahullah:
قال العلماء: التوبة واجبةٌ من كل ذنبٍ، فإن كانت المعصية بين العبد وبين الله تعالى لا تتعلق بحق آدميٍ؛ فلها ثلاثة شروطٍ: أحدها: أن يقلع عن المعصية.
والثاني: أن يندم على فعلها.
والثالث: أن يعزم أن لا يعود إليها أبداً. فإن فقد أحد الثلاثة لم تصح توبته. وإن كانت المعصية تتعلق بآدميٍ فشروطها أربعةٌ: هذه الثلاثة، وأن يبرأ من حق صاحبها؛ فإن كانت مالاً أو نحوه رده إليه، وإن كانت حد قذفٍ ونحوه مكنه منه أو طلب عفوه، وإن كانت غيبةً استحله منها.
“Berkata para ulama: “Tobat adalah wajib dari semua dosa, jika maksiatnya adalah antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala, yang tidak terkait dengan manusia, maka syarat tobatnya ada tiga:
1.
Meninggalkan maksiat tersebut
2.
Membenci/menyesali perbuatan tersebut
3.
Berjanji tidak mengulanginya selamanya.
Jika salah satu saja tidak ada, maka tobatnya tidak sah. Dan, jika maksiatnya adalah terkait dengan manusia, maka syaratnya ada empat; yaitu yang tiga di atas, dan yang keempat adalah: menyelesaikan urusannya kepada orang yang berhak. Jika kesalahannya dalam bentuk harta maka dia harus mengembalikannya. Jika dia melemparkan tuduhan, maka dia meminta maaf kepada yang dituduh. Jika dia melakukan ghibah, maka dia meminta untuk dihalalkan (dimaafkan). (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 3-4. Mawqi’ Al Warraq)
Ayah Tiri Ku Memang baik....
Ayah Tiri Ku Memang baik....
Selamat membaca cerita tentang Ayah Tiri yang sangat menyentuh ini.
Ayah meninggal karena kanker paru-paru stadium akhir saat saya berusia 6
tahun. Beliau juga meninggalkan ibu dan adik saya yang masih berusia
dua tahun. Sejak saat itu kehidupan kami sehari-hari sangat sulit.
Setiap hari ibu bekerja membanting tulang di sawah hanya cukup
menyelesaikan masalah perut saja.
Saat saya berusia 9 tahun,
ibu menikah dengan seorang pria dan menyuruh kami memanggilnya ayah.
Pria tersebut adalah ayah tiri saya. Untuk selanjutnya dia yang menopang
keluarga kami.
Dalam ingatan masa kecil, ayah tiri saya
seorang yang sangat rajin, dia juga sangat menyayangi ibu.Pekerjaan apa
saja dalam keluarga yang membutuhkan tenaganya akan dia lakukan,
selamanya tidak membiarkan ibu untuk campur tangan.
Sehari-hari
ayah tiri adalah orang yang pendiam. Usianya kira-kira empat puluhan
lebih, berperawakan tinggi dan kurus, tetapi bersemangat. Dahinya hitam,
memiliki sepasang tangan besar yang kasar, di wajahnya yang kecoklatan
terdapat sepasang mata kecil yang cekung.
Ayah tiri saya
mempunyai suatu kebiasaan, tidak peduli pergi kemana pun, diatas
pinggangnya selalu terselip sebatang pipa rokok antik berwarna coklat
kehitaman. Setiap ada waktu senggang dia selalu menghisap rokok
menggunakan pipa itu. Sejak dulu saya tidak suka dengan perokok, oleh
karenanya saya juluki dia dengan sebutan “setan perokok”.
Dalam
ingatan saya, ayah tiri selalu tenang dalam menghadapi segala
persoalan, tidak peduli besar kecilnya permasalahan selalu dihadapinya
dengan santai. Namun hanya karena sebatang pipa rokok, ayah tiri telah
memberikan saya sebuah tamparan yang sangat keras.
Teringat
waktu itu ayah tiri baru saja menjadi anggota keluarga kurang lebih
setengah tahun, suatu hari saya mencuri pipa rokoknya untuk saya
sembunyikan. Hasilnya, ayah tiri selama beberapa hari merasa gelisah dan
tak tenang, sepasang matanya merah laksana berdarah. Akhirnya karena
saya diinterogasi dengan keras oleh ibu, dengan berat hati saya
menyerahkan pipa rokok itu.
Ketika saya menyerahkan pipa itu
kehadapan ayah tiri, dia menerimanya dengan tangan gemetaran dan tak
lupa dia memberikan saya satu tamparan keras, kedua matanya berlinangan
air mata.
Saya sangat ketakutan dan menangis, ibu menghampiri
dan memeluk kepala saya lalu berkata, “Lain kali jangan pernah menyentuh
pipa rokok itu, mengertikah kamu? Pipa itu adalah nyawanya!”
Setelah kejadian itu, pipa rokok itu menjadi penuh misteri bagiku. Saya
berpikir, “Ada apa dengan pipa itu sehingga membuat ayah tiri bisa
meneteskan air mata? Pasti ada sebuah kisah tentangnya.”
Mungkin tamparan itu telah menyebabkan dendam terhadap ayah tiri, tidak
peduli bagaimanapun jerih payah pengorbanannya, saya tidak pernah
menjadi terharu. Sejak usia belia, saya selalu berpendapat ayah tiri
sama jahatnya seperti ibu tiri dalam dongeng Puteri Salju. Sikap saya
terhadap ayah tiri sangat dingin, acuh tidak acuh, lebih-lebih jangan
harap menyuruh saya memanggil dia “ayah”.
Tapi ada sebuah peristiwa yang membuat saya mulai ada sedikit kesan baik terhadap ayah tiri.
Suatu hari ketika saya baru pulang dari sekolah, begitu masuk rumah
segera melihat kedua tangan ibu memegangi perut sambil berteriak
kesakitan. Ibu bergulung-gulung di ranjang, butiran besar keringat
dingin bercucuran di wajahnya yang pucat.
Celaka! Penyakit maag
ibu kambuh lagi! Saya dan adik menangis mencari ayah tiri yang bekerja
disawah. Mendengar penuturan kami, dia segera membuang cangkul
ditangannya, sandal pun tak sempat dia pakai. Sesampai dirumah tanpa
berkata apapun segera mengendong ibu kerumah sakit seperti orang sedang
kesurupan. Ketika ibu dan ayah tiri kembali kerumah, hari sudah larut
malam, ibu kelelahan tertidur pulas diatas pundak ayah tiri.
Melihat kami berdua, ayah tiri dengan nafas tersengal-sengal, tertawa
dan berkata kepada kami, “Beres, sudah tidak ada masalah. Kalian
pergilah tidur, besok masih harus bersekolah!” Saya melihat butiran
keringat sebesar kacang berjatuhan bagai butiran mutiara yang terburai,
jatuh pada sepasang kaki besarnya yang penuh tanah.
Kesengsaraan yang saya alami dimasa kecil, membuat saya memahami
penderitaan seorang petani. Saya menumpahkan segala harapan saya pada
ujian masuk ke Universitas. Tetapi pertama kali mengikuti ujian, saya
mengalami kegagalan.
“Bu, saya sangat ingin mengulang satu tahun lagi,” pinta saya pada ibu.
“Nak, kamu tahu sendiri keadaan ekonomi kita, adikmu juga masih sekolah
di SMA, kesehatan ibu juga tidak baik, pengeluaran dalam keluarga semua
menggantungkan ayahmu. Lihatlah sendiri ada berapa gelintir orang di
desa ini yang mengenyam pendidikan SMA? Ibu berpendapat kamu pulang
kerumah untuk membantu ayahmu!”
Tetapi saya sudah menetapkan
niat, bersikap teguh tidak mau mengalah. Saat itu ayah tiri tidak
mengatakan apa-apa, dia duduk dihalaman luar menghisap rokok dengan pipa
kesayangannya. Saya tak tahu didalam benaknya sedang memikirkan apa.
Keesokan harinya ibu berkata kepada saya, “Ayah setuju kamu menuntut ilmu lagi selama satu tahun, giatlah belajar!”
Ayah tiri menjadi orang yang pertama kali menerima dan membaca surat
penerimaan mahasiswa saya. “Bu, anakmu diterima diperguruan tinggi!”
teriaknya.
Saya dan ibu berlari keluar dari dapur. Ibu melihat
dan membolak-balik surat panggilan itu meski satu huruf pun dia tidak
mengenalinya. Tetapi kegembiraan itu tersirat dari tingkah lakunya.
Malam itu tak tahu mengapa ayah tiri sangat gembira hingga bicaranya
juga banyak.
Saya mengambil botol arak dimeja makan dan dengan
sikap sangat hormat menuangkan arak itu satu gelas penuh untuk ayah
tiri. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih atas jerih payahnya selama
satu tahun! Dengan takjub ayah tiri memandang kearah saya, wajahnya
penuh dengan kegembiraan. Sekali mengangkat gelas dan meneguk habis,
mulutnya tak henti-hentinya berkata, “Patut, sangat patut sekali!”
Tetapi untuk selanjutnya biaya uang sekolah perguruan tinggi sejumlah
4.000 yuan itu membuat keluarga cemas. Ibu mengeluarkan segenap uang
tabungannya serta menjual dan meminjam kesana kemari, tetap masih kurang
500 yuan.
Bagaimana ini? Kuliah akan dimulai satu hari lagi.
Saat makan malam, hidangan diatas meja tidak ada seorang pun yang
menyentuhnya. Ibu menghela napas panjang sedangkan ayah tiri berada
disampingnya sambil merokok, sibuk memperbaiki alat tani ditangannya,
saya tidak tahu mengapa hatinya begitu tenang? Suara napas ibu membuat
hati saya hancur luluh lantak.
“Sudahlah saya tidak mau kuliah!
Apa kalian puas?” Saya berdiri dengan gusar, dan bergegas masuk kamar,
merebahkan diri di ranjang lalu mulai menangis…….. Saat itu saya
merasakan ada satu tangan besar yang keras menepuk-nepuk pundak saya,
“Sudah dewasa masih menangis, besok ayah pergi berusaha, kamu pasti bisa
kuliah.”
Malam itu ayah membawa pipa rokoknya, menghisap
seorang diri dihalaman rumah hingga larut malam, percikan api rokok yang
sekejap terang dan gelap menyinari wajahnya yang banyak mengalami pahit
getir kehidupan. Dia memincingkan sepasang mata, raut wajahnya
menyembunyikan perasaan dan sangat berat. Kepulan asap rokok dengan
ringan menyebar didepan matanya, mengaburkan pandangan, tiada seorang
pun tahu apa yang sedang dia pikirkan, tetapi yang pasti dalam hatinya
tidak tenang.
Keesokan hari ibu memberitahu saya bahwa ayah
tiri pergi ke kabupaten. “Pergi untuk apa?” Percikan bunga api dari
harapan hati saya tersirat keluar.
“Dia bilang pergi kekota mencari teman menanyakan apakah bisa pinjami uang.”
“Apa usaha temannya?” Ibu menggelengkan kepala, mulutnya bergumam, “Tidak tahu.”
Hari itu saya menunggu didepan desa, memandang kearah jalan kecil yang
berkelok-kelok. Untuk kali pertama perasaan hati saya ada semacam
dorongan ingin bertemu ayah tiri, dan untuk kali pertama saya merasakan
berharganya sosok ayah tiri dalam jiwa saya, masa depan saya tergantung
pada dirinya.
Hingga malam saya baru melihat ayah tiri pulang.
Saat saya melihat wajahnya yang penuh senyuman, hati saya yang selalu
cemas, akhirnya bisa merasa lega. Ibu bergegas mengambil seember air
hangat untuk merendam kakinya. “Celupkanlah kakimu, berjalan pulang
pergi 40 kilometer perjalanan cukup membuat lelah.” Dengan lembut ibu
berkata kepada ayah tiri.
Saya mengamati wajah ayah tiri dengan
saksama, dan menemukan bahwa dia bukan lagi seorang pria yang masih
kuat dan kekar seperti dulu. Wajahnya pucat pasi dan bibir membiru,
dahinya hitam penuh dengan kerutan, rambut pendek serta tangan kurus
bagaikan kayu bakar, penuh dengan tonjolan urat hijau.
Memang
benar, ayah tiri sudah tua. Dengan hati-hati ibu melepaskan sepasang
sepatunya yang hampir rusak. Dibawah sinar temaram lampu neon, terlihat
sebuah benjolan darah besar yang sudah membiru masuk dalam pandangan
saya, tak tertahankan hati saya merasa bersedih, air mata saya diam-diam
menetes keluar……..
Keesokan hari ketika saya berangkat kuliah,
ayah tiri mengatakan dia tidak enak badan, diluar dugaan dia tidak bisa
bangun dari tempat tidur. Dalam perjalanan mengantar saya kuliah ibu
berkata, “Nak, kamu sudah dewasa, diluar sana semuanya tergantung pada
diri sendiri. Sebenarnya ayah tirimu itu sangat menyayangimu, dia sangat
mengharapkanmu memanggilnya ayah! Tetapi kamu……”
Suara ibu sesenggukan, saya menggigit bibir dengan suara lirih berkata, “Lain kali saja, Bu!”
Setiap kali membayar uang kuliah, ayah tiri pasti pergi ke kota untuk
meminjam uang. Ketika liburan musim dingin dan panas tiba, saya jarang
berbicara dengan ayah tiri dirumah, dia sendiri juga jarang menanyakan
keadaan saya. Tetapi kegembiraan ayah tiri bisa dirasakan setiap orang.
Setiap kali kembali ketempat kuliah, ayah tiri pasti akan mengantar
sampai ketempat yang cukup jauh. Sepanjang perjalanan dia kebanyakan
hanya menghisap pipa rokoknya. Semua kata-kata yang ingin saya utarakan
kepadanya tidak tahu harus dimulai dari mana.
Sebenarnya dalam
hati kecil sejak dulu sudah menerimanya seperti ayah kandung, cinta
kasih kadang kala sangat sulit untuk diutarakan! Dengan demikian saya
selalu tidak bisa merealisasikan janji saya terhadap ibu.
Pada
liburan tahun baru, rumah terkesan ramai sekali. Saat itu saya sudah
kuliah di semester-6. Adik meminta saya bercerita tentang hal-hal
menarik di kota, ayah tiri duduk dibelakang ibu, sibuk mengeluarkan abu
tembakau setelah itu memasukkan tembakau kedalam pipa, wajahnya penuh
dengan senyum kebahagiaan. Saya bercerita tentang keadaan kota, adik
membelalakkan mata dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ah, teman
sekelas kakak kebanyakan sudah mempunyai ponsel dan laptop, sedangkan
kakak sebuah arloji pun tidak punya.......” Pada akhirnya saya mengeluh
dengan nada bergumam. Saat itu saya melihat wajah ayah tiri sedikit
tegang, segera ada perasaan menyesal telah mengucapkan perkataan itu.
Saat liburan usai saya harus meninggalkan rumah kembali kuliah. Seperti
biasa ayah tiri mengantar kepergian saya. Sepanjang perjalanan beberapa
kali ayah tiri memanggil saya, tetapi ketika saya menanggapi, dia
membatalkan berbicara, sepertinya mempunyai beban pikiran yang sangat
berat. Saya sangat berharap ayah tiri bisa memulai topik pembicaraan,
agar bisa berkomunikasi baik dengannya, namun saya selalu kecewa.
Ketika berpisah, ayah tiri berkata dengan kaku, “Saya tidak mempunyai
kepandaian apa-apa, tidak bisa membuat hidup kalian bahagia, saya sangat
menyesalinya. Jika engkau sukses kelak, harus berbakti pada ibumu,
biarkan dia bisa menikmati hari tua dengan bahagia…” Saya menerima koper
baju yang disodorkannya.
Tiba-tiba saya melihat sepasang
matanya berkaca-kaca. Hati saya menjadi trenyuh, mendadak merasakan ada
semacam dorongan hati yang ingin memanggilnya “Ayah”, tetapi kata yang
telah mengendap lama ini akan terlontar dari mulut, mendadak tertelan
kembali.
Ketika saya telah berjalan jauh, saya lihat ayah tiri
masih berdiri ditempat itu sama sekali tak bergerak, bagaikan patung.
Dalam hati saya berjanji: ketika pulang nanti, saya pasti akan
memanggilnya “Ayah”. Namun kesempatan itu tak pernah saya dapatkan lagi.
Saya tak mengira perpisahan kali ini untuk selamanya.
Dua
bulan setelah itu saya mendapat kabar bahwa ayah tiri meninggal dunia.
Bagaikan halilintar di siang bolong, benak saya menjadi kosong, serasa
dunia ini sudah tiada lagi. Saya pulang dengan perasaan linglung, yang
menyambut saya dirumah adalah pipa rokok berwarna coklat kehitaman yang
tergantung di tembok.
“Satu-satunya hal yang paling disesali
ayah adalah tidak seharusnya menamparmu, setiap kali mengantarmu kembali
ke kampus, dia sangat ingin meminta maaf, tetapi ucapan itu selalu tak
bisa keluar dari mulutnya. Sebenarnya masalah itu tidak bisa menyalahkan
dirinya, kamu tidak tahu betapa sengsara hatinya, pipa itu adalah
kesedihan seumur hidupnya!” Dengan hati pedih ibu bercerita.
Melihat benda peninggalan itu teringat pemiliknya, dengan hati-hati saya
ambil pipa yang tergantung di tembok itu, pandangan mata saya kabur
karena air mata, merasakan kesedihan yang menusuk hati. Ibu juga
tergerak hatinya, dia lalu bercerita tentang misteri pipa rokok itu…
Tiga puluh tahun lalu, ayah tiri hidup saling bergantung dengan
ayahnya. Ibu dengan ayah tiri adalah teman sepermainan sejak
kanak-kanak. Setelah mereka tumbuh dewasa, mereka sudah tak terpisahkan
lagi. Tetapi jalinan kasih mereka mendapatkan tentangan keras kakek,
sebab keluarga ayah tiri terlalu miskin.
Karena ibu dan ayah
tiri dengan tegas mempertahankan hubungan mereka, kakek terpaksa
mengajukan sejumlah besar mas kawin kepada keluarga ayah tiri baru mau
merestui pertunangan mereka.
Demi anak satu-satunya, ayah dari
ayah tiri itu pergi bekerja di perusahaan penambangan batu bara. Malang
tak dapat ditolak, terjadi kecelakaan di tambang itu. Dinding tambang
runtuh dan menimbun sang ayah untuk selamanya. Barang peninggalan
satu-satunya hanyalah pipa rokok kesayangannya semasa hidup.
Ayah tiri sangat sedih, seumur hidup orang yang paling dia hormati dan
sayangi adalah ayahnya. Kemudian ayah tiri menyalahkan dirinya dan
merasakan penyesalan yang mendalam hingga tak ingin hidup lagi.
Keesokan harinya dia diam-diam meninggalkan rumah dengan membawa pipa rokok itu, tak seorang pun tahu kemana perginya…
Dua tahun kemudian ayah tiri kembali lagi kekampung halamannya, tetapi
ibu satu tahun sebelum ayah tiri kembali dipaksa untuk menikah dengan
ayah kandung saya. Untuk selanjutnya ayah tiri tidak menikah, yang
menemani hidupnya adalah sebatang pipa rokok yang tidak pernah lepas
darinya.
Setelah ayah kandung saya meninggal, ayah tiri
memberanikan diri menanggung segala tanggung jawab untuk menjaga ibu,
saya dan adik. Sejak awal dia menolak mempunyai anak sendiri, dia
berkata kami ini adalah anak kandungnya.
Selesai mendengarkan
penuturan ibu, tak terasa wajah saya penuh dengan air mata. Sungguh tak
menduga jika pipa rokok itu bukan hanya memiliki kisah berliku
perjalanan cinta mereka, namun juga mengandung ingatan yang amat berat
bagi seumur hidup ayah tiri!
“Ayah meninggal dunia karena
pendarahan otak, sebelumnya dia sudah tidak bisa berbicara, hanya
memandang Ibu dengan tangannya menunjuk ke arah kotak kayu. Ibu mengerti
maksudnya hendak memberikan kotak kayu tersebut kepadamu. Didalam kotak
itu terdapat beberapa lembar surat hutang, mungkin dia bermaksud
menyuruhmu membayarkan hutangnya. Seumur hidupnya, dia tak ingin
berhutang pada orang lain….”
Dengan sesenggukan saya menerima
kotak kayu itu dan membukanya dengan perlahan. Ada delapan lembar kertas
didalamnya. Saya membacanya dan terkejut bukan main, tubuh menjadi
lemas terkulai diatas ranjang.
Ibu saya buta huruf,
kertas-kertas yang ada dalam kotak itu bukan surat hutang seperti yang
dikatakannya, melainkan tanda terima jual darah! Ayah tiri telah menjual
darahnya! Kepala saya terasa pusing dan tangan saya lemas. Kotak kayu
itu terjatuh, dari dalamnya menggelinding keluar sebuah alroji baru…
“Ayah! Ayah..” Berlutut didepan kuburan ayah tiri dengan air mata
bercucuran, saya hanya bisa menepuk-nepuk onggokan tanah kuning yang ada
dihadapan saya. Tetapi biar bagaimanapun saya berteriak-teriak, tetap
tak akan memanggil kembali bayangannya.
Ketika saya pergi
meninggalkan rumah, saya membawa pipa rokok coklat kehitaman itu, saya
akan mendampingi pipa ini untuk seumur hidup saya, mengenang ayah tiri
untuk selamanya.
"Jangan sampai menyesali perbuatan anda selama
ini, lakukan semua yang terbaik kepada orang2 yang telah berkorban
banyak bagi masa depan anda.Sayangi dan hargailah mereka!!!"
Sekarang saatnya Bro, jangan tunggu nanti Apalagi Esok
Langganan:
Komentar (Atom)
